Intense Debate Comments

Kamis, 16 Desember 2010

Tentang Ibu

KATA yang singkat tetapi memiliki makna yang sangat dalam tentunya. Tepat tanggal 22 Desember 2010 merupakan Hari Ibu se-Indonesia. Tapi apakah yang didapatkan oleh berjuta jiwa wanita Indonesia sebagai Ibu?

Apakah tanggal 22 Desember 2010 ini hanyalah sekadar perayaan bagi seseorang Ibu tanpa pemaknaan yang sesungguhnya? Tentunya pertanyaan ini kita jawab secara pribadi kita di dalam sebuah keluarga. Tetapi di dalam negara kita ini, negara Indonesia apakah pemaknaannya sudah sesuai dengan apa yang diharapkan para Ibu Inonesia? Apakah sudah maksimal?

Di Indonesia ini para wanita khususnya para Ibu selalu dikatakan kaum manusia kelas dua, sementara para kaum lelaki berada di kelas atas atau kelas satu. Keadaan para Ibu ini disebabkan karena adanya sub-ordinasi yaitu suatu penilaian atau anggapan bahwa suatu peran yang dilakukan oleh satu jenis kelamin lebih rendah dari yang lain. Ini sudah ada sejak manusia ada dan akan terus ada selama manusia masih ada. Nilai ini sudah memilah-milah atau membeda-bedakan peran wanita dan lelaki, ini merupakan realita hidup manusia yang terjadi saat ini, selalu ada pembedaan yang dapat menyebabkan kesenjangan sosial contohnya adanya konflik antara para Ibu dan para suami di dalam rumah tangga bahkan terjadinya lapisan di dalam sebuah keluarga, sang Ayah yang kadang kala seorang diktator dan Ibu hanya melaksanakan segala perintah yang disampaikan oleh sang Ayah.

Ibu hanya dianggap bertanggung jawab hanya dalam keluarga dan hanya memiliki peran dalam urusan domestik (keluarga) atau reproduksi, sementara sang Ayah memiliki urusan publik (kepentingan umum) atau produksi (pencari nafkah utama).

Hal ini telah membuat kaum Ibu semakin termarginalkan, seorang Ibu tak mempunyai hak untuk melakukan kegiatan yang biasa dilakukan oleh suaminya. Tapi coba kita lihat pada saat ini, para Ibu telah memiliki beban ganda di antara rumah tangga dan di luar rumah tangga. Mereka hanya ingin bangkit dari marginilisasi, tetapi apa yang mereka lakukan belum seperti apa yang diharapkan. Seorang Ibu yang memiliki  beban ganda sebagai pencari nafkah tambahan, pekerjaannya saat ini sangat menyedihkan.

Kita contohkan para Ibu yang bekerja sebagai buruh pabrik yang rentan terhadap PHK dikarenakan tidak mempunyai ikatan resmi dari perusahaan tempat ia bekerja, bagaimana ia dapat memenuhi hidupnya dan anak-anaknya sementara jaminan pekerjaan tidak ada dan bagaimana kalau seorang Ibu yang menjadi tulang punggung keluarga bagi yang tidak memiliki suami lagi? Kemudian seorang  Ibu yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga yang sering dianggap  “pembantu” juga sangat berpengaruh terhadap upahnya lantas hanya karena pekerja rumah tangga.

Saat ini juga dapat kita lihat pekerjaan trend yang banyak dilakukan oleh para Ibu Indonesia, mereka merantau ke negara tetangga untuk menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) seperti negara Malaysia, Arab Saudi dan negara lainnya. Mereka rela meninggalkan anak-anaknya demi sesuap nasi untuk dikirim ke kampung halamannya di Indonesia.

Tapi apakah semua ini berjalan dengan lancar dan sesuai apa yang kita harapkan? Tidak semua tentunya. Sebagian dari mereka menjadi pembantu bukan pekerja rumah tangga. Terbukti banyaknya kekerasan yang dilakukan oleh majikan-majikan terhadap para Ibu Indonesia. Dan kekerasan yang mereka lakukan pun tidak tanggung-tanggung, banyak yang menjadi korbannya menjadi cacat fisik bahkan ada juga yang sampai cacat mental akibat trauma terhadap kekerasan yang dilakukan terhadapnya.

Inilah wujud perjuangan para Ibu Indonesia sebagai Ibu rumah tangga yang memiliki beban ganda yang mencari nafkah untuk kelangsungan hidupnya dan keluarganya tentunya. Bukan di luar negeri saja para Ibu mendapatkan kekerasan, bahkan di ruang lingkupnya sendiri juga masih ada yaitu Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Banyak dari mereka yang mendapatkan kekerasan sampai saat ini, ada yang babak belur dihajar oleh suaminya bahkan ada yang sampai meninggal dunia. Semua ini disebabkan karena wanita itu dianggap tak berdaya. Sungguh tragis bukan keadaan sebagian dari pada Ibu Indonesia.

Tetapi di balik termarginalkannya para Ibu di Indonesia, ternyata seorang Ibu itu bisa menjadi seorang panutan, seorang pemimpin. Bukan pemimpin biasa tetapi pemimpin negara contohnya yaitu Ibu Megawati Soekarno Putri, seorang wanita yang mewakili berjuta jiwa Ibu Indonesia untuk ikut aktif dalam berperan apa pun bahkan untuk mengangkat martabat para Ibu Indonesia.

Hal ini sudah cukup untuk membuktikan bahwa kaum Ibu ataupun kaum wanita tidaklah lemah atau tidak berdaya, tetapi bagaikan seseorang yang tak tampak karena tertutupi oleh kabut.

Joshua Hutabarat
Mahasiswa Ilmu Kesejahteraan Sosial
FISIP Universitas Sumatera Utara

sumber: okezone.com

Sudah Baca Artikel Dibawah ini?

0 komentar:

Related Posts with Thumbnails
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More